DITINGGALKAN ATAU MENINGGALKAN JABATAN
Oleh: H. Mochtar Husein
Setidaknya, terdapat dua hal yang pasti sehubungan dengan siklus jabatan manusia. Ditinggalkan jabatan karena waktunya sudah berakhir, atau meninggalkan jabatan karena jatah nafas di dunia sudah habis. Keduanya adalah takdir yang telah diatur oleh Maha Pengatur. Seseorang yang memperoleh jabatan lantaran dibutuhkan pasar, tidak merasakan sakit ketika ia ditinggalkan jabatan. Karena dahulu, ia naik dengan wajar dan ketika turun kembali dengan wajar. Tetapi sebaliknya, jika seseorang naik dengan penuh masalah dan dipaksakan, akan merasakan ‘sakit’ ketika ia turun dengan tidak wajar, laksana buah kelapa yang jatuh menimpa batu besar, batok kelapanya hancur dan airnya keluar berhamburan.
Bagi muslim yang kuat imannya, teriliminasinya jabatan dari dirinya, tidak menjadi masalah baginya. Karena setiap selesai salat Magrib telah membaca wirid “Tu’til mulka man tasya’ watanzi’ul mulka min man tasya’ (Engkau yang memberikan jabatan kepada yang Engkau sukai, dan mencabut kembali jabatan kepada yang Engkau sukai. BagiMu ya Allah adalah segala kebaikan). Bahkan oleh seorang Hukama berpendapat, sebenarnya jika berhenti dari suatu jabatan, sebaiknya bersyukur, karena berkurang lagi, satu tanggung jawab (amanah) di hari akhirat. Itu sebabnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Bani Umayah) waktu dilantik menjadi khalifah, bukan mengucapkan “Alhamdulillah” tapi sebaliknya yang dia ucapkan “ Inna Lillah” (sebagai musibah), karena khawatir jangan sampai tidak mampu mempertanggung jawabkan (amanah) itu di hari kiamat nanti.
Mempertanggung jawabkan amanah :
Diantara yang paling berat dipertanggungjawabkan adalah amanah atas orang-orang miskin dan terlantar. Jika hal ini yang gagal dikerjakan, boleh dikata kepemimpinan seluruhnya gagal. Karena pejabat diangkat, tugas utamanya untuk mengurus kesejahteraan orang-orang miskin. Rasulullah SAW dikenal kepribadiannya disebut “ Yuhibbul fuqaea Wal masakin “ (Sangat mencintai fakir miskin). Demikian Khalifah Abu Bakar yang kaya raya sebelum menjabat khalifah, ia berakhir dengan miskin, karena hartanya dihabiskan untuk membantu orang-orang miskin dan perjuangan Islam. Sedangkan khalifah Umar sekalipun tidak sekaya Abu Bakar, diriwayatkan siang malam kerjanya mengantarkan sendiri bahan makanan kepada orang miskin. Ketika penjaga gudang menawarkan dirinya untuk membantu mengangkat karung terigu, ia marah dan berkata : “ Apakah kamu mampu memikul beban (amanah) saya di akhirat ?”
Artinya, seorang pejabat tugas utamanya harus mampu mengurus rakyat kecil, lalu dirinya sendiri hidup sederhana. Itulah amanah pertama pejabat yang wajib dipertanggung jawabkan.
Sumpah jabatan :
Diantara amanah yang paling berat dipertanggung jawabkan adalah sumpah jabatan. Apakah sesuai sumpah atau khianat. Seperti tidak akan menerima pemberian. Sumpah jabatan yang diucapkan, disaksikan Kepala Pengadilan dan masyarakat yang hadir, juga disaksikan oleh Allah, termasuk “ Demi Allah saya tidak akan menerima pemberian dari manapun datangnya, langsung atau tidak langsung, yang berhubungan dengan jabatan saya “.
Teringat riwayat Imam Hanafi, ketika dihadiahi seorang wanita cantik dan ribuan dinar oleh penguasa, agar bersedia menjadi hakim ia menolak, ia berkata kepada yang mengantar “ Tolong sampaikan kepada raja, ‘Imam meminta maaf, wanita cantik itu tidak berguna lagi bagi saya, sedangkan ribuan dinar itu masih lebih banyak orang lain yang lebih membutuhkan (mustahik) dari saya’”.
Harta yang paling berat :
Dikemukakan sebuah Hadis “ Seseorang tidak beranjak dari tempatnya bangkit di hari akhirat nanti, sebelum mempertanggung jawabkan 4 hal: Pertama, umurnya kemana dihabiskan. Kedua, umur mudanya kemana dimanfaatkan. Ketiga, ilmunya kemana dikembangkan. Keempat, hartanya bagaimana cara memperoleh dan kemana dibelanjakan.(HR. Abu Dawud).
Melihat Hadis tersebut ternyata pertanyaan pertama sampai ketiga, yang ditanyakan adalah pemanfaatannya, karena pasti datangnya dari Allah, tapi pertanyaan tentang harta pertanyaannya dua. Bagaimana memperoleh ?. Lalu ke mana dibelanjakan ?. Artinya, kalau cara memperoleh tidak halal, tidak perlu lagi ditanyakan ke mana dibelanjakan. Biar dibelanjakan kepada yang positif, tidak berguna karena asalnya sudah tidak halal. Itu sebabnya Alquran selalu menganjurkan yang “ Halalan thayyibah “ (Halal dan baik).
Akhirnya, hendaknya seorang muslim menyadari bahwa jabatan itu adalah amanah yang wajib dipertanggungjawabkan, dimana pertanggungjawaban utamanya adalah untuk mensejahterakan kaum Fuqara wal Masakin sebagaimana telah dicontohkan oleh pejabat-pejabat muslim dalam lintasan sejarah. Sedangkan pertanggungjawaban pribadi di hari akhirat adalah termasuk harta benda yang dikumpulkan selama hidup. Kapan pejabat lebih mementingkan kekayaan pribadi dan tidak hidup sederhana, maka perbaikan kehidupan bernegara yang dicita-citakan sulit terwujud.
Mari kita doakan, semoga para pejabat di negara ini lebih amanah dari pejabat sebelumnya, Amin.