HAKIKAT TASAWUF
Oleh: H. Mochtar Husein
Sejak belasan abad yang lalu, dunia Tasawuf seringkali menuai beragam hal kontraversi.
Mulai dari penamaan Tasawuf itu sendiri, asal-muasalnya, maqam-maqamnya, hakikatnya dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan penerimaan terhadap dunia Tasawuf, ada golongan yang menerima atau mendukungnya; ada golongan yang menolaknya;
dan ada pula golongan yang meniti jalan pertengahan (aushatuha), yakni tetap berusaha obyektif dan adil.
Penulis sendiri memilih jalan pertengahan ini, berusaha berada pada bayang-bayang Hujjatul Islam (Imam Al-Ghazali) dan Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah),
dengan tetap meyakini parameter untuk menilai sesuatu yang paling shahih bagi seorang muslim adalah tetap
berbasis Al-Quran dan As-Sunnah (Farudduhu ila Allah wa al-Rasul).
Dari beragam kontravesi itu, penulis cukupkan membahas beberapa hal utama berikut dan kemudian menarik kesimpulan sehubungan dengan hakikat tasawuf.
Menurut DR. Abdul Fattah Ahmad, dalam Al-Tasawuf bayna al-Ghazali wa Ibnu Taimiyah, bahwa sumber Tasawuf Islam itu asal muasalnya ada dua :
berakar dari luar Islam dan berakar dari dalam Islam sendiri. Dari luar Islam misalnya dari India,
Persia dan Filsafat Yunani, serta dari dalam sendiri yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan sunnah sahabat.
Alasan dari luar misalnya dari India dikemukakan William John yang membandingkan mazhab Wahdatul wujud dalam tasawuf dengan mazhab Vidanita dalam agama Brahmana.
Keduanya, mirip sekali, utamanya dari segi riyadhah, tafakur dan makrifah. Dari Persia dengan argumentasi, sejumlah besar Syekh (Guru sufi) fase tasawuf, berasal dari Persia.
Dan dari filsafat Yunani terutama dari Plato dan Neo Platoniosme, khususnya mengenai hakikat tertinggi tentang emanasi (faidh).
Serta masih ada lagi pendapat lain misalnya dari pengaruh agama Nasrani dengan prilaku pendeta. ( hal.19 )
Asal Muasal :
Kata Tashawuf (Tasawuf) atau Sufi ada beberapa pendapat.
Pertama, terambil dari kata shufi (Baca:sufi) yang asalnya shafa (jernih). Tapi menurut kaidah Bahasa Arab tidak tepat, karena nisbat kata shafa yaitu shafai, bukan sufi.
Demikian nisbat shuf adalah shawafi, bukan sufi (Lihat Dr.Muhamad Mustafa Hilmi (197O).
Kedua, Sufi berasal dari Ahlu Shuffah (golongan miskin di zaman Rasul), juga tidak tepat.
Karena nisbat shuffah dari segi Bahasa adalah shuffi, bukan sufi.(Lihat : Dr. Badawi hal.8 dan Al-Qusyairiyah h.216 )
Ketiga, berasal dari kata shaff (jijir dalam salat), dari segi Bahasa, juga tidak tepat, karena nisbat shaff adalah shaffi,
bukan sufi (Lihat Dr.Jamil Abul A’la hal.6).
Keempat, berasal dari kata Yunani “sophie” (mencintai), juga tidak tepat, karena huruf “S” dalam Bahasa Yunani, d
itransliterasikan menjadi huruf siin, dalam Bahasa Arab dan bukan huruf shaad ( Lihat Dr.Abdul Fattah Ahmad, 142O H).
Kelima, kata “Sufi” itu adalah laqab (julukan). Yaitu orang yang mengamalkan ajaran Tasawuf.
Dinisbatkan kepada pakaian sederhana (wol kasar) yang banyak dipakai Nabi-nabi dan kaum Shiddiqin masa lalu.
Untuk itu, membicarakan asal muasal kata sufi dilihat dari segi Bahasa, tidaklah tepat. Yang jelas sufi adalah semacam gelar (Risalaah Al-Qusyairiah hal. 216).
Sehingga, menurut hemat penulis, pendapat kelima inilah yang paling relevan, karena didukung, oleh jumhur (mayoritas) ulama, baik klasik dan kontemporer,
seperti yang terkenal Sosiolog Islam, Ibnu Khaldun dll (dalam Mukadimah hal.42).
Adapun ta’rief (defenisi) Tasawuf, banyak sekali, karena umumnya menyesuaikan alur pikir mereka, dengan maqam dan ahwal yang dikembangkan,
Demikian jika melihat dalam Islam sendiri, banyak kemiripan kehidupan Rasul dan sahabatnya dengan amalan sufi : riyadhah, mujahadah dan hakikat cahaya dalam musyahadah.
Demikian pula halnya dengan sumber-sumber dan maqam dalam Tasawuf, misalnya taubat, zuhud, sabar, zikir dan tawakal. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjiwai, diantaranya:
(1) Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui (QS.Al-Ankabut 64).
(2) Maka sabarlah kamu apa yang mereka katakan, dan bertasbilah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit dan terbenam matahari,
dan bertasbihlah pula di waktu malam dan siang, supaya kamu merasa tenang (QS. Thaha 13O).
(3) Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kamu (QS Al;-Hujurat 13).
Dari Hadis Qudsi, misalnya Allah berfirman : “Aku tergantung prasangka hambaKu, jika hambaKu mengingat Aku, Aku akan mengingatnya pula…
jika mendekatKu sejengkal Aku mendekatnya sehasta…jika dia datang berjalan, Aku akan datang berlari (HR.Muslim).
Dalam Sunnah, didapati kaki Rasul bengkak, lantaran salat malam, kemudian Aisyah bertanya,
“Mengapa Engkau lakukan ini ya Rasul, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu ? “. Rasul menjawab “Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur ?” (HR.Bukhari).
Demikian sunnah sahabat mencontoh Rasul dalam kehidupannya sehari-hari, terutama tentang Zuhud, ditiru dengan baik oleh Abu Bakr, Umar, Usman, Ali dll.
Alhasil sahabat dan tabi’in banyak mengakomodir isi dan ajaran tasawuf.
Maka definisi Tasawuf, yang dapat mencakup semua pemikiran mazhab tasawuf ialah dari sufi Al-Kittani : “ Tasawuf yaitu shafaa (kejernihan) dan musyahadah (menyaksikan)”.
Dua sisi itu didalamnya adalah wasilah (sarana, alat) dan ghayah (tujuan, sasaran).
Dengan merujuk kepada definisi Al-Kittani, maka Tasawuf itu adalah thariq (jalan) kesucian untuk mencapai tujuan musyahadah.
Tasawuf dicederai :
Perkembangan tasawuf sebagai praktek akhlak dimulai pada abad I dan II Hijrah, berjalan dengan baik, dan tidak ada yang bertentangan Al-Quran, Sunnah dan praktek sahabat.
Maqamnya dijiwai Al-Quran dan As-Sunnah sahih, terutama hidup zuhud. Tetapi setelah memasuki abad III Hijrah, mulailah Tasawuf dicederai.
Mulanya hanya kehidupan pribadi muslim, berobah menjadi organisasi Thariqah yang sudah membicarakan kondisi jiwa, suluk, maqamat, ahwal dan fana’.
Lalu ada kelompok hanya tunduk kepada Syaikh dan mursyidnya, dan bahkan ada yang bisa jadi menyelisihi ajaran murni dari Al-Quran dan Sunnah;
memunculkan fanatisme hingga terkontaminasi dari luar Islam. Laksana susu dalam belanga, tercemar campuran nila, yang otomatis manisnya susu hilang.
Pada abad III-IV H.Tasawuf menjadi dua: Orientasi Sunni dan orientasi Filsafat.
Orientasi Filsafat melahirkan istilah syatahat (Membingungkan) akibat paham Fana’, ittihad dan Hulul dari Al-Hallaj. Selanjutnya pada fase berikutnya muncul paham Wahdatul Wujud,
dari Ibnu Arabi (W.628 H) dan makin banyak sufi melahirkan ucapan “Syatahat” , misalnya “Sembahlah aku, Tuhan ada dalam jubahku dsb” (Astagfirullah!)..
Selanjutnya pada abad VI dan VII H. Tasawuf Filsafat semakin mempengaruhi dan makin banyak yang diterbaurkan dari unsur : Yunani, Persia, India dan Kristen,
yang menyebabkan semakin menjauhi Al-Quran dan memunduran Islam.
Khatimah
Dari kekacauan tasawuf yang mulanya masih sesuai Al-Quran, kemudian bercampur baur yang memundurkan Islam dan umatnya,
kini adalah waktunya memurnikan kembali dengan memilih jalan tengah dan arif, dengan tetap berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Kita renungkan pendapat 2 pendekar Islam yang telah meneliti dengan cermat Filsafat dan Tasawuf : Hujjatul Islam Al-Gazali dan, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah .
Keduanya menyimpulkan bahwa maqam dan ahwal yang dapat diterima dalam Tasawuf misalnya : Taubat, Zuhud, Mahabbah dan Ma’rifah.
Sedang yang selayaknya ditolak, menurut keduanya, adalah ajaran Fana’/Baqa,’ Ittihad, Hulul dan Wahdatul wujud.
Menurut penulis inilah yang terbaik diterima, sebagai ausatuha (pertengahan).
Kedua pendekar Islam diatas telah memilih jalan ausatuha meskipun di antara keduanya, masih ada sedikit perbedaan : Imam Al-Gazali bermazhab Syafei
dan masih mentolerir khalwat, dalam tasawuf. Sedang Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah bermazhab Hambali, dan tidak menerima sistem khalwat dalam tasawuf.
Akhirnya kita dapat sederhanakan, bahwa Hakikat Tasawuf yang semestinya ialah menjernihkan jiwa sesuai syari’at dengan tujuan agar seorang hamba mampu mencapai ma’rifah dan musyahadah. (Wa Allahu a’lam).