ULAMA YANG PEWARIS NABI
Oleh: H. Mochtar Husein
Sejak munculnya kekuasaan Islam, umat Islam pernah
mencapai kejayaan. Kekuasaan Islam ketika itu
dipimpin ulama yang penuh kejujuran, keberanian dan
keikhlasan, dalam menegakkan syari’at Islam. Pada
waktu itu, ulama muncul laksana bintang cemerlang di
malam hari. Menerangi jalan manusia, baik terhadap
umara maupun awam. Para ulama mampu berdiri pada
garis
terdepan, dalam menegakkan keadilan,
mempertegas garis demarkasi antara yang hak dan
yang batil, sekalipun di hadapan penguasa yang zalim.
(Al-Badri, 1408 H: h.9).
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, sikap ulama
bervariasi. Ada ulama yang berani menasehati atau menentang umara zalim, sekalipun akibatnya terpaksa
dijebloskan ke dalam tahanan; ada pula yang
mentolerir kemaksiatan yang dilakukan umara; dan bahkan ada pula yang acuh tak acuh dan lalai
melakukan tugasnya, sebagai pewaris nabi-nabi, dalam menegakkan amar makruf dan nahi mungkar.
Lalu, kualifikasi yang manakah yang dapat disebut pewaris nabi?
Kategori Ulama
Sebelum membahas kategori ulama menurut Alquran, lebih dahulu dikemukakan hadis Rasul yang
sangat populer, yaitu: “Sesungguhnya ulama itu mewarisi nabi-nabi” (HR.Ibn Majah).
Sekalipun hadis tersebut, belum disepakati kesahihannya oleh ulama hadis (Fat-h Al-Bariy I:160),
namun karena Alquran menyebut adanya kewarisan, maka tanpa mengurangi, perlu dikemukakan
ayatnya sebagai berikut: ”Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang “zhalim” (menganiaya) dirinya sendiri,
dan diantara mereka ada yang “muqtashid” (pertengahan) dan diantara mereka ada (pula) yang
“sabiq” (terdahulu) dalam berbuat kebaikan, dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah kurnia yang
besar”. (QS.35:32).
Kategori Ulama Zalim:
Kategori ulama yang pertama, Zhalim berarti lawan dari cahaya. Atau dalam arti yang bervariasi:
aniaya, dosa, tidak adil dan kejahatan. Atau ta’riefnya, menempatkan sesuatu kepada yang bukan
tempatnya (Al-Maqayis: 64, Al-Mufradat: 641 dan Lisan al’Arab: 266).
Adapun yang dimaksud Zhalim li nafsih (QS.35:32), menurut mufasir Al-Thabathaba’I, bahwa yang
menganiaya diri sendiri adalah muslim, ahli Alquran (ulama) yang masih melakukan suatu kejahatan.
(Al-Mizan, 17:46).
Kategori Ulama Muqtashid:
Menurut Ibn Katsir: Yaitu golongan yang telah melaksanakan wajib dan meninggalkan larangan, tapi
masih melakukan makruh.
Kedua kategori ulama diatas yakni zhalim dan muqtashid, karena dirinya sendiri masih ‘bermasalah’
maka jelas tidak dapat diharapkan menyelesaikan masalah yang dialami masyarakatnya.
Kategori Ulama Sabiq:
Kategori ulama yang ketiga adalah “Sabiq bi al-Khayrat” (berpacu dalam berbuat kebaikan) dengan
izin Allah. (QS.35:32).
Adapun makna Sabiq bi al-Khayrat (berpacu dalam berbuat kebaikan), seperti pembahasan utama sub
judul ini, dapat dilihat beberapa pendapat mufasir.
(1) Ibn Katsir: Sabiq bi al-Khayrat, yaitu orang-orang yang telah mengerjakan yang wajib dan sunah,
meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah. Mereka inilah
yang akan masuk ke surga tanpa hisab. (Juz III:554).
(2) Al-Thabrasi: Sabiq bi al-Khayrat, yaitu orang-orang yang batinnya lebih baik dari lahirnya, sekalipun
lahirnya sudah baik. Kategori inilah yang tertinggi derajatnya di sisi Allah. (Majma’ Al-Bayan 7:07).
(3) Sayid Quthb: Golongan mukmin ada tiga. Pertama, golongan yang lebih banyak kejahatannya
daripada kebaikannya. Kedua, golongan yang seimbang kejahatannya dan kebaikannya. Dan yang
ketiga, golongan yang lebih banyak kebaikannya daripada kejahatannya. (Fi Zhilal Al-Qur’an 6:132).
(4) Al-Thabathaba’I: Sabiq bi al-Khayrat adalah golongan yang lebih baik dari dari golongan zalim dan
muqtashid. Golongan ini mempunyai derajat lebih dekat kepada Allah dengan istilah “Ulaika al
Muqarrabun”. (Al-Mizan 17:46).
Berdasarkan penafsiran mufasirin di atas, maka yang disebut “Sabiq bi Khayrat”, adalah golongan
ulama yang ketiga, yang kebaikannya amat banyak, dan hampir-hampir tidak pernah lagi berbuat
pelanggaran sekecil apapun.
Kategori ulama yang berkualifikasi jenis ketiga inilah yang dibutuhkan masyarakat masa kini dan akan
datang, serta golongan ulama inilah pula yang lebih patut disebut “Warasatul Anbiya’” (Pewaris nabi
nabi). Golongan ulama ini senantiasa menjalankan tugasnya dengan baik, menyampaikan tablig yang
sejuk, menjelaskan agama dengan transparan, mencarikan solusi terhadap problem masyarakat
(problem solver), menjadi teladan dalam pengamalan dan giat menjalankan amar -makruf dan nahi
mungkar, demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, ulama ini senantiasa mencontoh akhlak
Rasul; Sangat pemalu, tawadhu’ dan mencintai orang miskin. Adapun dalam melaksanakan tugas
utamanya, amar makruf dan nahi mungkar, ulama ini juga bekerjasama dengan umara, sehingga
ketegangan antar keduanya dapat dieliminir, laksana menarik selembar rambut dari tepung,
rambutnya keluar dan tepungnya tidak berserakan.
Semoga pesantren mampu mencetak ulama tipe ini. Amin.